Definisi
Konsep Budaya dalam Kajian Budaya (Cultural Studies)
Kajian
disiplin ilmu lain telah terlebih dahulu mendefinisikan istilah budaya (culture)
yang dimasukkan ke dalam konsep masing-masing disiplin humaniora dan sosial,
seperti antropologi, sosiologi, politik, ekonomi dan seterusnya.
Koentjaraningrat memberikan definisi budaya sebagai sistem gagasan, tindakan
dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik
diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1990: 180). Dan, James Spradley
nampaknya hampir sependapat dengan Koentjaraningrat. Ia mengatakan budaya
merupakan sistem pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar,
yang kemudian mereka gunakan untuk menginterpretasikan dunia sekelilingnya,
sekaligus untuk menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekitar.
Lebih
khusus, dalam terminologi disiplin Kajian Budaya (Cultural Studies)
menyajikan bentuk kritis atas definisi budaya yang mengarah pada “the
complex everyday world we all encounter and through which all move” (Edgar,
1999: 102). Budaya secara luas adalah proses kehidupan sehari-hari manusia
dalam skala umum, mulai dari tindakan hingga cara berpikir, sebagaimana konsep
budaya yang dijabarkan oleh Kluckhohn. Pengertian ini didukung juga oleh
Clifford Geertz, kebudayaan didefinisikan serangkaian aturan-aturan,
resep-resep, rencana-rencana dan petunjuk-petunjuk yang digunakan manusia untuk
mengatur tingkah lakunya.
Dalam
kajian budaya atau Cultural Studies (CS), konsep budaya dapat dipahami
seiring dengan perubahan perilaku dan struktur masyarakat di Eropa pada abad
ke-19. Perubahan ini atas dampak dari pengaruh teknologi yang berkembang pesat.
Istilah budaya sendiri merupakan kajian komprehensif dalam pengertiannya
menganalisa suatu obyek kajian. Contohnya, selain ada antropologi budaya juga
dikaji dalam studi Sosiologi, Sejarah, Etnografi, Kritik Sastra bahkan juga
Sosiobiologi.
Fokus
studi kajian budaya (CS) ini adalah pada aspek relasi budaya dan kekuasaan yang
dapat dilihat dalam budaya pop. Di dalam tradisi Kajian Budaya di Inggris yang
diwarisi oleh Raymonds Williams, Hoggarts, dan Stuart Hall, menilai konsep
budaya atau “culture” (dalam bahasa Inggris) merpakan hal yang paling
rumit diartikan sehingga bagi mereka konsep tersebut disebut sebuah alat bantu
yang kurang lebih memiliki nilai guna.
Williams
mendefinisikan konsep budaya menggunakan pendekatan universal, yaitu konsep
budaya mengacu pada makna-makna bersama. Makna ini terpusat pada makna
sehari-hari: nilai, benda-benda material/simbolis, norma. Kebudayaan adalah
pengalaman dalam hidup sehari-hari: berbagai teks, praktik, dan makna semua
orang dalam menjalani hidup mereka (Barker, 2005: 50-55). Kebudayaan yang
didefinisikan oleh Williams lebih dekat ‘budaya’ sebagai keseluruhan cara
hidup.
Sebab
ia menganjurkan agar kebudayaan diselidiki dalam beberapa term. Pertama,
institusi-institusi yang memproduksi kesenian dan kebudayaan. Kedua,
formasi-formasi pendidikan, gerakan, dan faksi-faksi dalam produksi kebudayaan.
Ketiga, bentuk-bentuk produksi, termasuk segala manifestasinya. Keempat,
identifikasi dan bentuk-bentuk kebudayaan, termasuk kekhususan produk-produk
kebudayaan, tujuan-tujuan estetisnya. Kelima, reproduksinya dalam perjalanan
ruang dan waktu. Dan keenam, cara pengorganisasiannya.
Jika
dibandingkan dengan pendapat John Storey, konsep budaya lebih diartikan sebagai
secara politis ketimbang estetis. Dan Storey beranggapan ‘budaya’ yang dipakai
dalam CS ini bukanlah konsep budaya seperti yang didefinisikan dalam kajian
lain sebagai objek keadiluhungan estetis (‘seni tinggi’) atau sebuah proses perkembangan
estetik, intelektual, dan spritual, melainkan budaya sebagai teks dan praktik
hidup sehari-hari (Storey, 2007: 2). Dalam hal ini nampaknya Storey setuju
dengan definisi ‘budaya’ menurut Raymonds Williams, lain halnya dengan Stuart
Hall yang lebih menekankan ‘budaya’ pada ranah politik.
To say that two people belong to the
same culture is to say that they interpret the world in roughly the same ways
and can express themselves, their thoughts and feelings about the world, in
ways which will be understood by each other. Thus culture depends on its
participants interpreting meaningfully what is happening around them, and
`making sense’ of the world, in broadly similar ways.
(Hall, 1997: 2)
Dan,
menurut Bennet istilah culture digunakan sebagai payung istilah (umbrella
term) yang merujuk pada semua aktivitas dan praktek-praktek yang
menghasilkan pemahaman (sense) atau makna (meaning). Baginya
budaya berarti :
“Kebiasaan dan ritual yang mengatur dan
menetukan hubungan sosial kita berdasarkan kehidupan sehari-hari sebagaimana
halnya dengan teks-teks tersebut-sastra, musik, televisi, dan film-dan melalui
kebiasaan serta ritual tersebut dunia sosial dan natural ditampilkan kembali
atau ditandai-dimaknai-dengan cara tertentu yang sesuai dengan konvensi tertentu.”
(Bennet 1980: 82-30)
Karakter
Akademik Kajian Budaya
Kajian
budaya sebagai suatu disiplin ilmu (akademik) yang mulai berkembang di wilayah
Barat (1960-an), seperti Inggris, Amerika, Eropa (kontinental), dan Australia
mendasarkan suatu pengetahuan yang disesuaikan dengan konteks keadaan dan
kondisi etnografi serta kebudayaan mereka. Pada tahap kelanjutannya di era awal
abad 21 kajian budaya dipakai di wilayah Timur untuk meneliti dan menelaah
konteks sosial di tempat-tempat yang jarang disentuh para praktisi kajian
budaya Barat, antara lain Afrika, Asia, atau Amerika Latin. Secara
institusional, kajian budaya menelurkan berbagai karya berupa buku-buku,
jurnal, diktat, matakuliah bahkan jurusan di universitas-universitas.
Menurut
Barker, inti kajian budaya bisa dipahami sebagai kajian tentang budaya sebagai
praktik-praktik pemaknaan dari representasi (Barker, 2000: 10). Teori budaya
marxis yang menggali kebudayaan sebagai wilayah ideologi yang lebih banyak
dijelaskan pada aliran wacana (discourse) dan praktik budaya seperti
layaknya media berupa teks-teks (sosial, ekonomi, politik).
Chris
Barker (2000) mengakui bahwa kajian budaya tidak memiliki titik acuan yang
tunggal. Selain itu, kajian budaya memang terlahir dari indung alam pemikiran
strukturalis/pascastrukturalis yang multidisipliner dan teori kritis
multidisipliner, terutama di Inggris dan Eropa kontinental. Artinya kajian
budaya mengkomposisikan berbagai kajian teoritis disiplin ilmu lain yang
dikembangkan secara lebih longgar sehingga mencakup potongan-potongan model
dari teori yang sudah ada dari para pemikir strukturalis/pascastrukturalis.
Sedangkan teori sosial kritis sebenarnya sudah mendahului tradisi disiplin
“kajian budaya” melalui kritik ideologinya yang dikembangkan Madzhab Frankfurt.
Sebuah kritik yang dimaknai dari pandangan Kantian, Hegelian, Marxian, dan
Freudian. Sehubungan dengan karakter akademis, pandangan lain dari Ben Agger
(2003) membedakan kajian budaya sebagai gerakan teoritis, dan kajian budaya
sebagai mode analisis dan kritik budaya ateoritis yang tidak berasal dari poyek
teori sosial kritis, yaitu kritik ideologi (Agger, 2003).
Komposisi
teoritis yang diajukan sebagai karakter akademis dalam kajian budaya mengekspresikan
temuan-temuan baru dalam hal metodologi terhadap cara pemaknaan sebuah
praktik-praktik kebudayaan yang lebih koheren, komprehensif, polivocality
(banyak suara) dan menegasikan keobjektifan suatu klaim pengetahuan maupun
bahasa.
Karakter
akademis kajian budaya memang sangat terkait dengan persoalan metodologi.
Penteorisasian tidak hanya merujuk pada satu wacana disiplin tunggal namun
banyak disiplin, maka ini pun yang disebut sebagai ciri khas kajian budaya
dengan istilah polivocality. Senada dengan yang disampaikan oleh Paula Sakko
(2003), kajian budaya mengambil bentuk kajian yang dicirikan dengan topik lived
experience (pengalaman yang hidup), discourse (wacana), text
(teks) dan social context (konteks sosial). Jadi, metodologi dalam
kajian budaya ini tersusun atas wacana, pengalaman hidup, teks, dan konteks
sosial dengan menggunakan analisis yang luas mengenai interaksi antara ‘yang
hidup’, yang dimediasi, keberyakinan (agama), etnik, tergenderkan, serta adanya
dimensi ekonomi dan politik dalam dunia jaman sekarang (modern/kapitalis).
Bagi
Saukko, hal yang paling fundamental dalam “kajian budaya”, pertama,
ketertarikan dalam budaya yang secara radikal berbeda dari budaya yang ada (high
culture to low culture/popular), kedua, analisis dengan kritis budaya yang
menjadi bagian integral dari pertarungan dan budaya (teks dan konteks sosial).
Hal yang harus dipenuhi dalam memandang konteks sosial adalah sensitifitas pada
konteks sosial dan kepedulian pada kesejarahan.
Sedangkan
yang menjadi bagian terpenting dari metodologi kajian budaya dan dianggap good/valid
research adalah truthfulness, self-reflexivity, polivocality.
Dan, menerapkan sebuah validitas dekonstruktif yang biasa digunakan oleh
peneliti pascastrukturalis, yaitu postmodern excess (Baudrillard), genealogical
historicity (Foucalt), dan deconstructive critique (Derrida). Pada
kerangka bagan yang dibuat Saukko dalam bukunya itu, Truthfullness
digambarkan dengan paradigma; ontologi, epistemologi, metapora, tujuan
penelitian dan politik yang disandingkan dengan model triangulasi, prism,
material semiotic dan dialogue.
Self-reflexivity ditempatkan pada
jalur seperti yang digunakan teori sosial kritis yang dilandaskan pada kritik
ideologi dan peran atas basis kesadaran yang merepresentasikan ruang dialog dan
wacana saling bertemu, mempengaruhi, mengaitkan berbagai kepentingan, pola
kekuasaan serta konteks sosial dan sejarahnya.
Polivocality menyematkan berbagai
pandangan yang berbeda (atau suara) dengan cakupan teori-teori yang saling
mengisi dan dengan mudah dapat didukung satu sama lain, meski ini membutuhkan
ketelitian dalam mengkombinasikan pandangan-pandangan lain agar memberikan
kesesuaian bagi karekater akademis Kajian budaya.
Paradigma
yang digunakan mengambil model triangulasi yang berupaya mengkombinasikan
berbagai macam bahan atau metode-metode untuk melihat apakah saling menguatkan
satu sama lain. Maka, kajian budaya sangat berpotensi memberikan peluang bagi
suatu kajian yang baru dan menarik minat mahasiswa. Validitas (keabsahan)
penelitian dalam Cultural Studies yang menuju ‘kebenaran’ (truth)
maka yang dipakai adalah triangulation.
Paradigms
|
Ontology
|
Epistemology
|
Metaphor
|
Goal of Research
|
Politics
|
Triangulation
|
Fixed reality
|
Reflect reality
|
Magnifying glass
|
Truth
|
Bias
|
Prisms
|
Fluid reality
|
Social construction
of reality
|
Prism refracting
vision
|
Conveying multiple
realities
|
Pluralist science
and society
|
Material
semiotic
|
Interactive reality
|
Material/semiotic
construction of reality
|
Prism diffracting
light
|
Creating
egalitarian realities
|
Egalitarian and
science society
|
Dialogue
|
Interactive reality
|
Material/semiotic
construction of reality
|
Dialogue
|
Dialoges between
multirealities
|
Egalitarian and
pluralist science and society
|
Sumber : Paula Saukko, Doing
Research in Cultural Studies, 2003[1]
Selain
itu, dalam makalah Melani Budianta, metode kajian budaya seringkali disebut
metode multidisipliner, lintas-, trans-, atau anti-disiplin (Grossberg:2).
Jannet Wolff mengemukakan sejumlah masalah metode interdisipliner kajian budaya
yang mengkritik kebiasaan memakai karya seni dalam studi-studi non-seni
(sosiologi, sejarah, politik dasn seterusnya) yang memperlakukan karya tersebut
sebagai fakta (mengutip bagian-bagian dari isi) tanpa “menghargai” fungsi karya
seni tersebut sebagai karya seni. Karena pemakaian teori yang eklektik dan
pendekatan yang berbeda-beda setiap kajian budaya membuat model dan perangkat
analisisnya masing-masing tergantung topik permasalahan yang digarapnya (Wolff,
1992; 706-717).
Sumber
http://sosbud.kompasiana.com/2010/07/21/konsep-budaya-dalam-kajian-budaya-cultural-studies/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar